KENAPA AYAH?


Cahaya matahari pagi lembut menyusup melalui celah-celah jemari pepohonan yang berjejer bak bodyguard disepanjang panti ini. Daun-daun pepohonan yang bergoyang, seakan-akan memainkan cahaya orange itu dan membentuk beberapa bayangan aneh yang terpantul di dinding salah satu kamar.
Si penghuni kamar itu kadang tersenyum kecil ketika beliau mencoba mereka-reka bayangan-banyangan itu seraya berbaring di ranjang besi. Menurut wanita tua seperti seekor bebek, tidak, ini berupa burung, atau bahkan berbentuk merpati yang sedang terbang. Tetapi seketika senyumannya berubah kaku. Matanya mulai berkaca-kaca, otot-otot wajah yang sebelumnya terangkat bahagia, seketika mulai kendor.
“Assalamu’alaikum, Bu Sri... Selamat pagi...!” sapa Mira dengan senyuman yang mengisyaratkan semangat pagi. Ia perlahan-lahan menghampiri ibu-ibu tujuh puluh tahunan itu dengan membawa baki berisi sarapan pagi untuk ibu itu.
“Pagi ini sangat cerah ya Bu... Ibu mau berkeliling taman usai sarapan ini....?” ucap Mira sambil menaruh baki diatas meja beroda disudut kamar.
Ibu itu hanya terisak tanpa merespon pertanyaan Mira. Mendengar itu, Mira sontak menoleh kearah Bu Sri. Penasaran, ia mencoba menghampiri Bu Sri yang bergolek di ranjang membelakangi Mira.
“Ibu... Ada apa?” Mira hanya bisa menatap lembut kearah ibu itu yang tengah mengusap air mata dari sudut-sudut matanya.
Air mata mulai merembes membasahi bantal biru beliau. Mira sadar, wanita tua itu sedang menyimpan kesedihan yang teramat dalam. Tapi, sudah hampir satu windu beliau dirawat di panti ini, tak ada satu pun petugas panti yang mengetahui kisah kelam Bu Sri. Beliau sangat tertutup dengan persoalan kehidupannya, sepertinya tak ada orang yang beliau jadikan tempat curahan hatinya disini. Ia hanya menyimpan semua itu rapat-rapat dan mengulumnya dalam senyuman yang terukir di wajahnya yang keriput.
“Ibu... Jika ibu ada masalah, ibu bisa ceritain kok sama Mira bu... Supaya sedihnya nggak terlalu berat bu... Kan ibu yang bilang... Mira udah ibu anggap sebagai anak ibu sendiri...” rayu Mira sambil mengusap bahu beliau.
Ternyata ucapan Mira, membuat tangisan ibu itu pecah, beliau terisak-isak menahan tangisannya. Beliau berpikir, akan malu jika seorang anak muda melihat seorang tua renta ini menangis, seperti anak kecil saja. Beliau tak ingin dianggap sebagai orang tua yang kembali ke fase kanak-kanak kembali. Tapi tetap saja, tangisan itu tak berhenti, perkataan Mira tadi sungguh membuat air matanya terus mengucur di pipi. Sungguh, beliau tak tahan menahan semua rasa sakit ini, rasanya semuanya ini ingin meledak. Akhirnya, dengan terbata-bata memulai cerita itu, beliau mulai angkat bicara tentang apa yang sesungguhnya terjadi.
“Nak... Ibu hanya teringat.... Teringat kepada Ana...”
Ana... Bukankah itu anak Bu Sri yang mengantarnya ke panti ini?
Hati Mira mulai gelisah. Ia teringat kepada kejadian delapan tahun yang lalu ketika pertama kali Bu Sri menginjakkan kakinya di panti ini. Beliau seperti diseret paksa oleh anaknya Ana, turun dari mobil. Waktu itu beliau hanya bisa meraung-raung, memberontak dengan perlakuan anaknya itu. Bu Sri sangat menolak untuk tinggal di panti ini. Tetapi, tampaknya Ana memaksa. Yang membuat semuanya sangat miris, ibu itu hanya mengenekan daster biru tua yang kumuh dan mulai pudar. Berbeda sekali dengan Ana yang mengenakan baju mahal bertahtakan butiran berlian di tepi kerahnya. Selain itu, Ana memperlakukan ibunya seperti orang yang tak berguna. Ana mendorong kasar kursi roda Bu Sri, sehingga membuat ibu yang duduk lemah di atasnya terombang-ambing kesana kemari. Ia juga memasang wajah masam kepada ibunya dan tak mempedulikan ibunya yang menangis terisak-isak karena prilakunya.
Mira yang waktu itu masih berusia 14 tahun hanya bisa mentap geram melihat perlakuan Ana dari ayunan di sudut taman. Matanya menyipit tajam kearah wanita kejam itu. Bisa-bisanya ia berbuat seperti itu kepada ibu tua itu.
“Tega sekali wanita itu memperlakukan seorang tua dengan seperti itu. Sepertinya ia belum tahu bagaimana rasanya tidak memiliki orang tua.” gumamnya dalam hati.
Tak lama kemudian, Ana keluar tersenyum lega dari gerbang panti. Ia bergegas masuk kedalam mobil sedan merahnya tanpa menoleh sedikit pun kebelakang. Padahal Bu Sri meraung-raung mencoba memanggil-manggil anaknya.
Ana.... Jangan Ana... Ibu janji ibu tak akan merepotkan mu lagi. Nak tunggu ibu.... Anaaaaa...” tangisan Bu Sri saat itu pecah seperti hatinya yang pecah tercerai berai karena anaknya. Beliau tak menyangka, anak semata wayang yang ia harapkan kini berubah menjadi monster yang tak punya hati. Teganya Ana membawa nya ke pati jompo sempit dari rumah yang selama ini ia persiapkan untuk hari tuanya bersama anak dan cucunya. Kini, beliau hanya bisa memandang anaknya berlalu dari panti ini. Tak ada yang bisa beliau lakukan lagi kecuali mencoba menenangkan batinnya sendiri ketika kesedihan melanda tanpa ada seorang pun yang tahu perasaannya selama sewindu di panti.
Mira berusaha tak mengungkit lagi kejadian itu dari pikirannya, ia mencoba menahan air mata yang sudah menggumpal di sudut matanya agar tidak mengalir. Mira tak ingin menambah kesedihan Bu Sri.
“Mira... Ana sangat senang dengan merpati... Da.. dahu..lu.. Dia sering bermain dengan merpati bersama ibu di taman... Dia sangat bahagia Mir...” tangisan beliau kembali pecah.
Dipeluknya ibu itu erat, berusaha menenangkan hati beliau.
“Ibu... Saya merasakan kok, apa yang kini ibu rasakan. Tapi ibu tak boleh bersedih berkepanjangan... Nanti stroke ibu kambuh lagi... Sayang kan...?”
“Tapi... Ibu tak pernah berpikir Ana tega membuang ibu seperti ini Mir... Ibu.. ibu.. nggak abis pikir...” tukas beliau yang mencoba bangun dari baringannya.
“Iya bu... Sekarang kita berdo’a saja.. Semoga Ana dibukakan pintu hatinya dan kembali ke pangkuan ibu lagi selayaknya seorang anak.. Ya bu...?”
Hujan yang menghampiri Bu Sri pagi itu mulai mereda. Tapi tidak untuk Mira. Bu Sri yang sangat rindu kepada anaknya membuat Mira berpikir dalam. Andaikan saja ia anaknya Bu Sri, pastinya dia tak akan kesepian dan begitu juga dengan Bu Sri. Semua ini memacu neuron-neuron bekerja menggali memori yang telah lalu.
Mira menyandarkan kepalanya ke tiang ayunan, tempat yang paling ia sukai di panti ini. Jika ada hal yang mengganggu pikiran dan ketenangan hatinya, bisa dipastikan ia meluapkan semuanya di ayunan besi itu. Baginya, bunyi gesekan besi pada ayunan tua ini mampu mengobati sedikit rasa gundah dan pikirannya melayang jauh pada kejadian 14 tahun lalu sebelum ia dirawat di panti ini.
“Jangan Uda  jadikan anakmu sebagai pekerja haram itu! Jangan uda jual anakmu sendiri uda... Ingatlah.. Dia anakmu... Bukalah mata batin mu...” teriakan Ibu kala itu masih jelas terngiang dikepalanya.
Jangan Ayah.... Jangan bawa aku dengan mereka...! Ayah aku tak ingin...” Mira juga masih mengingat di saat Ayah menarik kasar tangannya dan melemparkannya seperti barang tak berharga ke dalam bak sebuah mobil kumuh berisi wanita-wanita muda malang lainnya.
“Tak ada lagi yang bisa kuharapkan lagi! Hanya kau barang berharga yang bisa dijadikan sumber uang bagi ku! Cepat kau masuk ke sana!!!”
“Ibu.... Ibu... Tolong Mira bu... Ibu....” tangannya menjulur-menjulur meminta pertolongan kepada Ibu yang saat itu tak berdaya lagi melawan kebengisan Ayah. Air mata Ibu saat itu sebagai tanda perpisahan bagi Mira dengan Ibu tercinta.
“Miiiirrraaaaaa... Huuumaiiiiraaaa..... Miiiiiraaaaa..........”
“Kak... Kak Mira... Ada Apa? Kak?”
Lana, seorang anak panti berusia  5 tahun itu berusaha membangunkan Mira yang tertidur di atas ayunan taman panti. Ayunan putih berukir klasik itu bergoyang-goyang kesana kemari hingga menyadarkan Mira yang lelap dalam gigauannya.
“Kak Mira mimpi buruk ya?” tanya gadis mungil itu.
“Hmmm... Tidak sayang...” bantahnya. Diusapnya kepala Lana dengan penuh kelembutan.
“Tapi tadi kakak ngigau manggil nama Ibu, Kakak kangen Ibu kakak ya?” tanya nya sambil menaiki ayunan itu.
“Nggak.. Kakak cuma mimpi... Makasih ya udah bangunin kakak...” lembut senyumnya merekah dari bibir tipisnya.
Gadis kecil itu mengangguk kecil lalu berlari kearah teman-temannya yang tengah bermain riang. Pandangannya terpatri pada segerombolan anak panti itu, tapi pikirannya telah lama hilang. Hilang untuk mengingat kembali masa bahagia bersama Ayah dan Ibu serta masa kelamnya saat semua kenikmatan tersebut terenggut darinya.
Kenapa Ayah waktu itu berubah... Dahulu Ayah tak pernah begitu... Ayah tak pernah memperlakukan Aku dan Ibu sekasar itu. Ayah selalu menjadikan kami sebagai ratu dan putri di hati mu. Malah dahulu, ketika aku menangis kesakitan Ayah memelukku hangat. Ketika aku demam Ayah rela berjalan menggendongku menuju klinik yang jaraknya 4 km dari rumah. Ayah yang dahulu selalu bilang berjudi, mabuk dan main wanita itu haram, tapi akhirnya Ayah melakukannya. Ayah dulu berjanji akan mengembalikan hidup kita seperti dulu lagi.. Tapi mana janji mu Ayah... Aku tak melihat lagi itu terbersit dalam pikiran mu.. Bahkan untuk menatap mu lagi dan memanggil lembut nama mu aku takut Ayah... Apa kemiskinan ini telah membutakan hati mu... Hingga kau tega menjual anak mu menjadi pekerja haram yang memberi mu banyak perak dan memisahkan aku dengan Ibu saat usia ku masih 8 tahun???” butir-butir halus keluar dari sudut matanya. Sangat berat beban yang dipikulnya.
“Ibu... Di mana Ibu sekarang...? Aku ingin bertemu mu. Aku rindu Ibu... Banyak yang ingin ku bagi dengan mu, banyak hal Ibu...”kesedihannya makin mendalam.
Air matanya mengalir semakin deras. Kini, ia tak kuasa lagi untuk memendam kepedihannya.  Menangis dan berdo’a yang bisa ia lakukan saat ini. Tidak tahu kemana lagi akan dia cari Ibu yang amat ia cintai. Sudah 5 tahun ini ia  berkelana menyusuri Sumatera Barat untuk menemukan Ibu, tapi hasilnya nihil. Serasa hidup sebatang kara, tidak memiliki siapapun untuk mengadu. Hanya panti tua ini menjadi tempat berlindung baginya, tawa anak-anak panti sebagai pembalut lukanya, kakek nenek di panti ini sudah ia anggap orang tuanya. Tapi tetap saja, hanya keluarga kandunglah yang ia harapkan.
Seperti biasa di sore hari, Mira menemani penghuni panti jompo ini untuk bersantai di ruang tengah. Menikmati secangkir teh panas dan beberapa kudapan, ditemani dengan siaran-siaran komedi dari televisi 24 inchi yang satu-satunya dimiliki panti ini.
Tiba-tiba dari pintu depan, terdengar suara ketukan pintu. Setelah beberapa kali berbunyi, Bu Nur, penjaga panti ini bergerak meninggalkan ruang tengah menuju pintu depan. Selang kemudian, Bu Nur memanggil Mira dari ruang tengah. Nada suara beliau mengisyaratkan tentang sesuatu yang teramat penting yang ingin beliau sampaikan. Bergegas Mira menuju ruang depan dengan setengah berlari.
Nafasnya tiba-tiba tercekat, tubuhnya gemetar, langkahnya terhenti tepat diantara dua tiang besar pembatas ruang tengah dan tuang depan. Tak bisa berucap satu patah kata pun, lidahnya kelu dan mulutnya sedikit ternganga. Matanya berlinang air mata, ia tak percaya dengan apa yang ada dihadapannya sekarang.
“Mira... Kamu mengenal beliau?” ucap Bu Nur sambil melangkah mendekati Mira yang mematung didekatnya.
“Mana... Kenapa hanya orang itu... Mana? Di mana orang yang kuharapkan datang...? Di mana? Aku tak melihat sosoknya...” hatinya bergetir.
“Mira...” Bu Nur mengulangi sekali lagi ucapannya. “Apakah kamu mengenal Bapak itu?”
“Iya... Aku sangat mengenalnya. Sangat!” suaranya bergetar. Hawa panas mengalir disekujur tubuhnya. Menyesakkan batinnya. Emosi. Hanya itu yang berputar-putar di kepalanya.
“Mira... Kau, benar Mira?” dengan wajah haru, bapak kurus keriput itu berdiri dengan sekuat tenaga dari sofa, melangkah pelan ke hadapan Mira.
Belum sempat Bapak itu merangkul gadis itu, Mira langsung menghindarinya. Mimik wajahnya berubah masam, dahinya berkerut.
“Huk... Huuukk.. Huk.. Mi.. Mira annakku...” Bapak itu berusaha meraih Mira dengan tangan kiri mengusap dadanya yang terasa sangat sakit.
 Mira tetap tak bergeming, ditatap nya Bapak itu tajam dengan tangan terlipat di dada. “Oh... ternyata Ayah masih menganggap ku sebagai anak mu?”
Bu Nur sontak terkejut dengan ucapan Mira. Mulut beliau terkatup rapat, tak tahu harus bersikap bagaimana. Beliau tak menyangka, bapak itu adalah Ayah Mira yang 14 tahun lalu mencampakkan dan menjual anaknya kepada seorang mucikari kupu-kupu malam.
“Maaf pak, Mira... Saya tinggal kedalam dahulu...” Bu Nur berlalu dari hadapan keduanya. Kini mereka lebih leluasa untuk berbicara satu sama lain.
“Mira... Maafkan Ayah....” ucap laki-laki tua itu berlinang air mata.
“Di mana Ibu...?!” tukas nya dengan nada sedikit keras kepada Ayah tanpa menghiaraukan permintaan maaf beliau. Tapi Ayah tak merespon pertanyaan yang dilontarkan, hanya terus menangis dengan kepala tertunduk.
“MANA IBU KU.....!!!!!” bentaknya sekali lagi. Baru sekali itu Mira berani membentak orang yang sudah tua, apalagi itu Ayahnya sendiri.
“Ib...Ibu..Ibu mu... meninggal sehari setelah kau pergi...”berat rasanya Ayah mengemukakan hal itu.
“APAAAA!!!!” Mira naik pitam.
Seumur-umur, mungkin baru kali ini juga ia marah begitu hebat. Matanya memerah menahan air mata, urat-urat lehernya tampak tegang, nafasnya tersengah-sengah. Suaranya menggelegar hingga semua orang di ruang tengah tegang dibuatnya. Bu Nur berusaha menenangkan nenek-nenek dan kakek-kakek yang mencoba mencari tahu apa yang terjadi serta, menggiring mereka ke dalam kamar masing-masing.
“Maafkan Ayah Humaira... Semua sudah terjadi... Ayah merasa berdosa... Maafkan semua kesalahan Ayah...” beliau pun tersungkur di bawah kaki anaknya.
“Awas! Ayah...???! Tidak... Masih pantas kah aku memanggilmu Ayah? Setelah apa yang telah terjadi dalam hidupku?!” ia berjalan menghindar dari Ayah.
“Tidak... Jangan begitu.. Aku ini Ayah mu... Hanya kau harapan Ayah Mir...” ucap Ayah memohon kepada Mira.
“Oh... Ketika hidup Ayah berada di ujung tanduk, Ayah datang kapada ku...! Dahulu, Ayah yang bilang bahwa aku bukan lah anak yang berguna dan karena itu kamu menjual ku kepada orang-orang gila di luar sana. Beruntung aku masih dilindungi Allah, dan berhasil kabur dari cengkraman orang-orang yang tak berotak itu. Sampai akhirnya aku dirawat dan dididik di panti ini. Tak tahu kah Ayah seberapa sakit hati ku hingga kini kala ku teringat kepada Ibu ku? Ayah yang membuat seperti ini! Semua gara-gara ulah mu sendiri Ayah!!!!” Mira tak sanggup lagi melihat wajah laki-laki itu. Jika ia tetap disana, pasti ia akan bertambah sakit. Berlari menghindari beliau dan mengurung diri di kamar, hanya itu kini yang berada dibenaknya.
“Miraaa... Dengar kan Ayah dahulu nak.....” Mira tetap berlalu begitu saja tanpa mempedulikan lelaki tua yang terlihat sangat lemas dan tak berdaya.
Hingga pagi menjelang, ia tetap mengunci kamarnya. Bu Nur, Bu Sri dan beberapa orang terdekat lainnya sudah berupaya membujuk nya untuk keluar dan menemui Ayahnya yang kini tinggal di panti itu. Tapi begitulah Mira, sekali hatinya sakit akan susah sekali untuk dibalut lagi.
Sudah hampir dua hari dia mengurung diri di kamar ukuran 3x4 itu. Matanya sudah membengkak, karena setiap waktu hanya menangis meratapi nasibnya. Hanya bermodalkan beberapa biskui saja, untuk menjanggal perutnya dikala lapar dan meminum air ledeng mentah di WC kamar. Dia memang tak pernah keluar kamar sejak kejadian hari itu. Hatinya sungguh sakit atas kedatangan Ayah. Bertambah sakit lagi, ketika ia mendengar Ibu telah meninggal dunia.
Pada sore harinya, Ayah berusaha menemui  Mira dari luar kamarnya. Beliau berusaha membujuk anak semata wayang nya itu untuk keluar dan makan bersama. Tapi Mira tak menggubris sedikitpun bujukan itu. Baginya, begitu sakit rasanya untuk termakan bujukan Ayah. Biarlah ia mati kelaparan dibandingkan harus bertatapan lagi dengan laki-laki yang telah membuat kehancuran dalam hidupnya.
“Miraaaa.... Miraaa.... Ayah mu nak.... Ayah mu...” dari luar terdengar Uni Des berteriak panik, tak selang kemudian terdengar serine ambulans dari luar panti.
Di kala itulah Mira mulai panik dan keluar dari kamarnya. Dia langsung berlari menuju pintu depan dan mendapati ambulans tadi berlalu dari hadapannya.
“Ada apa Uni?” tanyanya panik.
“Ayah mu Mir... Ayah mu jantungnya kambuh....” jawab Uni Des dengan nafas tersengah-sengah.
“APA???!!! Aku harus kesana Uni. Mat.. Tolong antarkan kakak ke Rumah Sakit ya...?”
“Jangan malam ini Mir, sudah larut... Besok saja ke sana, lagi pula sekarang ada Da Beni yang menjaga Ayah mu. Kau usah panik, InsyaAllah semua akan baik-baik saja, serahkan kepada Allah.” saran Uni yang mencoba menenangkan Mira.
Pagi pun menjelang, seluruh penghuni panti sudah siap untuk beraktivitas lagi hari ini. Untuk yang sekolah, mereka siap dengan sebuah ransel di pundak mereka tak ketinggallan pula para penghuni panti jompo bersiap-siap membentuk barisan di halaman depan untuk melakukan senam pagi. Begitu pula Mira, pagi-pagi sekali ia sudah bersiap-siap berangkat menuju Rumah Sakit di kota. Perjalanan ini akan memakan waktu satu jam dari panti yang terletak di kaki gunung Marapi, tapi ini semua ia lakukan karena masih ada rasa sayang untuk Ayah.
“Kak, Bapak Hunaidi pasien serangan jantung yang masuk tadi malam dirawat di ruang apa kak?” tanya Mira kepada salah satu resepsionis Rumah Sakit ini.
“Sebentar ya mbak... Mmmm... Bapak Hunaidi dirawat di ruang ICU kak...” perkataan wanita itu menggetarkan batinnya. Ratusan pertanyaan-pertanyaan aneh melintas dibenaknya. Mira hanya termenung dan berbalik dari meja resepsionis, sampai-sampai dia lupa mengucapkan terima kasih kepada wanita tersebut.
Bergegas dia menyusuri lorong Rumah Sakit menuju ruang ICU. Pikirannya dipenuhi dengan Ayah, Ayah dan Ayah.
“ICU??? Berarti keadaan Ayah parah..., seberapa parahkah ya Allah. Ringankanlah penyakit nya ya Allah”
Bagi Mira ICU adalah tempat yang mengerikan. Ruangan ini dipenuhi berbagai macam alat-alat berkabel mulai dari kecil hingga besar dengan berbagai macam bentuk. Kabel-kabel itu melintas kesana kemari dan melilit tubuh pasien, termasuk Ayah dan terlihat lebih mengerikan dibanding ular yang melilit manusia. Bunyi-bunyian aneh seringkali terdengar dari beberapa alat di ruangan ini yang mengisyaratkan seberapa parah keadaan pasien.
Jantungnya berdebar kencang saat memasuki ruangan itu dengan jas biru membalut tubuh. Saat ini ia tidak sedang jatuh cinta, tapi hatinya dirundung gundah. Ia sedih melihat Ayah terbujur lemah di atas ranjang besi, tapi di sisi lain, hatinya masih sakit atas perlakuan Ayah kepadanya. Pikirannya berkata untuk meninggalkan beliau saja, apa gunanya mengurus orang yang telah menghancurkan semuanya tapi hatinya menolak. Hatinya berkata, untuk menjaga ayah, karena bagaimana pun beliau adalah Ayah yang telah membesarkan dirinya. Jika tak ada beliau di bumi ini pasti ia tak pernah merasakan hidup di dunia.
Butiran air mata satu persatu menetes dari pelupuk matanya, membasahi tangan Ayah yang tergeletak di bibir ranjang. “Ayah... Bangunlah Ayah...” digenggamnya erat tangan Ayah. Tapi tanda-tanda Ayah untuk tersadar masih tidak ada.
“Mir.....” tiba-tiba suara lembut menyusup memasuki telinganya. Di tatapnya lembut laki-laki tua bermata cekung itu.
“Ayaaaahhhhh....” sontak ia memeluk Ayah yang terbangun dari tidurnya. Badan beliau terasa dingin, sedingin hatinya yang mungkin tiada lagi sosok untuk menghangatkannya.
“Ayah.. Alhamdulillah Ayah bangun... Ayah.. maaf.. Maafkan Mira Ayah... Maaf jika waktu itu Mira menghardik ayah, Mira berdosa ayah...” sedikit tegesa-gesa ia mengutarakan semuanya dengan mengusap-usap tangan Ayah yang dibalut infus.
“Miraaa... Ayah sudah maafkan kamu.. tapi kamu harus mendengar dahulu penjelasan Ayah tentang apa yang telah terjadi semuanya...” ucap ayah yang tengah menahan rasa sakit.
“Sebenarnya, malam itu, Ayah kalah dalam bermain judi. Dan tak punya uang sepeser pun untuk membayar hutang-hutang...” tangan beliau menggenggam lembut tangan Mira.
“Dan... para preman itu akan mengambil anak gadis Ayah satu-satunya untuk membayar semua hutang itu.. tapi ayah meno.. nolak.. huhukhuk...” batuk dan sesak nafasnya mencekat kalimat di mulutnya, tapi beliau tetap melanjutkan ucapannya.
“Ayah tak ingin kau di jual kepada mereka sebagai wanita kupu-kupu malam nantinya nak... Dan akhirnya ayah menyuruh para preman pengantar sayur ke pasar untuk menyelamatkan mu ke tempat yang telah Ayah tentukan, agar nanti ayah bisa menjemput mu kembali. Sungguh nak... mereka bukanlah orang jahat. Tetapi, sewaktu Ayah ingin menjemput mu, kau tak Ayah dapati di tempat itu, preman itu bilang kau berhasil kabur meloncati bak mobil itu saat dalam perjalanan. Ayah shock.. begitu juga Ibu mu, saat itu lah Ibu terkena serangan jantung yang hebat dan tak terselamatkan lagi.” Air mata beliau berjatuhan menutup penjelasannya pagi itu.
“Ayaaaaahhh... Ayaaahhh..” Mira menangis sejadi-jadinya, ia menyesali apa yang ada di benaknya selama ini. Ayah yang telah dianggapnya sebagai monster paling jahat di dunia ini adalah orang yang paling sayang kepadanya.
“Maafkan Ayah... Maaf sayang... Ayah sayang Mira... Sayang.... Allahu...ak..bar” lidah beliau kaku, mulutnya terkatup rapat, matanya yang cekung tertutup rapat, untuk selama-lamanya.
“Ayaaaaahhhhh.............!!!” teriakan Mira di ruang ICU itu. Para petugas medis yang berjaga bergegas menghampiri Ayah yang telah terbujur kaku. Mendeteksi apakah masih ada kehidupan, tapi semua telah berakhir.
“Ayah... Bangun Ayah... Ayah.. Mira sudah memaafkan Ayah... Ayah.. Jangan pergi... Mira tak punya siapa-siapa lagi Ayah.... Ayah....” tangisnya pecah. Digoncang-goncangkannya tubuh Ayah, tapi sudah terlambat. Ayah kini tak lagi disini, Ayah di sana, InsyaAllah bersama Ibu dalam naungan Illahi.

Tak peduli siapa orang tua kita, apa pekerjaannya, apa yang dilakukannya. Sebagai anak, pantasnya kita senantiasa menghormati dan menghargai mereka. Jika mereka berbuat yang menyimpang dari ketentuan agama, tegurlah mereka semampu kita. Hanya Allah yang akan membukakan pintu hati mereka, yang dapat kita lakukan hanyalah mendo’akan keduanya. Kerena  kita diciptakan melalui perpaduan kedua sel mereka dan darah daging mereka. 

di Publikasikan pada Lomba Cerpen tingkat Mahasiswa Pekan Jurnalistik V Nasional Genta Andalas, UNAND, Padang. 

Komentar

Postingan Populer